Kamis, 03 April 2014

Kebudayaan Sumatera Selatan (Ilmu Budaya Dasar)


Kota Palembang adalah ibu kota provinsi Sumatera Selatan. Palembang merupakan kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan. Sejarah Palembang yang pernah menjadi ibukota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya, yang mendominasi Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9 juga membuat kota ini dikenal dengan julukan “Bumi Sriwijaya“.
Penduduk Palembang merupakan etnis melayu dan menggunakan bahasa melayu yang telah disesuaikan dengan dialek setempat yang kini dikenal sebagai bahasa Palembang. Namun para pendatang seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering, Rawas, Musi dan Lahat. Pendatang dari luar Sumatera Selatan kadang-kadang juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahan. Namun untuk berkomunikasi dengan warga Palembang lain.Penduduk asli umumnya menggunakan bahasa Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan warga keturunan, seperti dari Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan Banjar. Warga keturunan yang banyak tinggal di Palembang adalah Tionghoa, Arab dan India. Kota Palembang memiliki beberapa wilayah yang menjadi ciri khas dari suatu komunitas seperti Kampung Kapitan yang merupakan wilayah Komunitas Tionghoa serta Kampung Al Munawwar, Kampung Assegaf, Kampung Al Habsyi, Kuto Batu, 19 Ilir Kampung Jamalullail dan Kampung Alawiyyin Sungai Bayas 10 Ilir yang merupakan wilayah Komunitas Arab. Agama mayoritas di Palembang adalah Islam. Di dalam catatan sejarahnya, Palembang pernah menerapkan undang-undang tertulis berlandaskan Syariat Islam, yang bersumber dari kitab Simbur Cahaya. Selain itu terdapat pula penganut Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Letak Geografis
Secara geografis, Palembang terletak pada 2°59′27.99″LS 104°45′24.24″BT. Luas wilayah Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut. Letak Palembang cukup strategis karena dilalui oleh jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan antar daerah di Pulau Sumatera.
Penduduk
Penduduk Palembang merupakan etnis melayu dan menggunakan bahasa melayu yang telah disesuaikan dengan dialek setempat yang kini dikenal sebagai Bahasa Palembang. Namun para pendatang seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering, Rawas, Musi dan Lahat. Pendatang dari luar Sumatera Selatan kadang-kadang juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahan. Namun untuk berkomunikasi dengan warga Palembang lain, penduduk umumnya menggunakan bahasa Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan warga keturunan, seperti dari Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan Banjar. Warga keturunan yang banyak tinggal di Palembang adalah Tionghoa, Arab dan India.
Seni dan Budaya
Sejarah tua Palembang serta masuknya para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai kota multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, kemudian Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti “lawang (pintu)”, “gedang (pisang)”, adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa.
Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
  • Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang)
  • Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan
  • Syarofal Anam adalah kesenian Islami yang dibawa oleh para saudagar Arab dulu, dan menjadi terkenal di Palembang oleh KH. M Akib, Ki Kemas H. Umar dan S. Abdullah bin Alwi Jamalullail
  • Lagu Daerah seperti Melati Karangan, Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut dan Ribang Kemambang
  • Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit

1.        Rumah adat Palembang Rumah Limas

Rumah adat / rumah tradisional orang Palembang mempunyai sebutan Rumah Bari yang  benama asli Rumah Limas, pada umumnya berbentuk dasar hampir sama dengan rumah-rumah adat yang ada di sebagian daerah di Nusantara, yaitu rumah panggung, dan material yang digunakan pada umumnya dari kayu.
Bagi pemilik rumah yang masih memerhatikan perbedaan kasta dalam keturunan adat Palembang, mereka akan membuat lantai bertingkat untuk menyesuaikan kasta tersebut. Lantai Rumah Limas yang bertingkat itu pada umumnya dibuat menjadi tiga tingkat sesuai dengan urutan keturunan masyarakat Palembang, yaitu Raden, Masagus, dan Kiagus. Pada umumnya bentuk Bangunan Rumah Limas memanjang ke belakang. Ukuran bangunan rumah bervariasi ada yang mempunyai lebar sampai 20 meter dengan panjang mencapai 100 meter. Semakin besar ukuran Rumah Limas semakin besar dan terpandanglah status sosial sipemilik rumah tersebut. Rumah Limas dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan bentuk pada lantainya, yang pertama Rumah Limas yang dibangun dengan ketinggian lantai yang berbeda, dan yang kedua Rumah Limas dengan ketinggian lantainya sama atau sejajar. Rumah Limas yang lantainya sejajar ini kerap disebut rumah ulu.
Bangunan Rumah Limas memakai bahan dasar dari kayu Unglen atau Merbau, kayu ini dipilih karena kayu tersebut mempunyai karakteristik tahan akan air. Dindingnya terbuat dari papan-papan kayu yang disusun tegak. Pada bagian depan terdapat dua tangga dari kiri dan kanan ada yang saling berhadapan bertemu jadi satu dibagian ujung atas menuju teras rumah ada juga yang berlawanan arah dari kiri dan kanan.Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang disebut tenggalung. pagar tersebut mempunyai Makna filosofis untuk mencegah supaya anak gadis tidak keluar dari rumah. Pintu masuk ke dalam rumah culup unik, terbuat dari kayu jika dibuka lebar akan menempel pada langit-langit teras. Untuk menopangnya, digunakan kunci dan pegas. 
Bagian dalam terdapat ruang tamu yang cukup luas dan ini merupakan bagian terluas dari Rumah Limas, yang disebut kekijing. Ruangan ini menjadi pusat kegiatan berkumpul jika ada hajatan. Ruang tamu juga berfungsi sebagai ruang pamer untuk menunjukkan kemakmuran pemilik rumah. Pada umumnya dinding ruangan di cat dominasi warna merah, hitam, coklat tua dan selalu dihiasi dengan ukiran-ukiran bermotif flora yang dicat dengan warna emas. Tak jarang juga, pemilik rumah yang mampu menggunakan bahan dari timah dan emas sunguhan untuk mengecat ukiran dan lampu-lampu gantung antik pada ruangan tersebut sebagai aksesori.

2.        Pakaian adat Palembang Kain Songket Palembang

Indonesia kaya sekali dengan aneka ragam kebudayaan daerah, diantaranya kain - kain khas daerah yang memiliki corak serta bahan khas dari daerah masing - masing. Sebagai orang Indonesia, Mode Dengan Kain Songket Palembang tentu kita sangat bangga dengan aneka ragam kain daerah yang ada di Indoensia ini. Beberapa daerah di Indonesia memiliki kain khas daerah yang berupa kain tenun. Seperti kain tenun Troso - Jepara, kain songket Palembang, dll. Walaupun sama - sama dibuat dengan cara ditenun, namun setiap daerah memiliki corak yang berbeda. Begitu pula dengan Mode Dengan Kain Songket Palembang.
Mode Dengan Kain Songket Palembang merupakan sejenis kain tenun tradisional yang dibuat / ditenun dengan menggunakan tangan (handmade). Kain songket Palembang ini biasa digunakan di acara - acara resmi. Bahan utama dari pembuatan kain songket Palembang ini berupa benang emas dan benang perak sehingga kain songket Palembang ini memang akan terlihat sangat “blink-blink” dan mewah.  Mode dengan kain songket Palembang tidak hanya digunakan sebagai bahan dasar pakaian saja. Namun Mode Dengan Kain Songket Palembang terkadang juga digunakan sebagai bahan pembuatan aksesoris rumah yang dipajang di dinding rumah atau yang biasa disebut dengan tapestry.

3.        Seni Musik Tradisional Palembang Jidur 

Musik Jidur sudah terkenal di seluruh Sumatera Selatan, entah kapan lahirnya musik ini. Nama musik Jidur ini di bawa oleh kaum kolonial yang akhirnya menjadi musik kolonial. Musik ini sering di bawakan pada saat acara pernikahan dan acara perayaan lainnya. Musik Jidur seirng di sebut juga dengan “Musik B’las” karena di mainkan oleh belasan orang dan ada juga yang menyebut Musik Jidur sebagai “Musik Brass” yang artinya kesenian musik yang alat musiknya merupakan alat tiup yang berasal dari logam. Disebut musik jidur karena musik ini sering di pakai untuk mengiringi (Ngarak) pengantin dan yang paling menonjol pada jidur ini adalah alat musik yang bulat dan besar yang di pikul oleh 2 orang, dan kalau di tabuh berbunyi “Dur….Dur…Dur” sehingga suasana lebih meriah.
Awalnya kesenian ini memerlukan 14 orang untuk memainkan 14 alat musik yang terdiri dari:
  • 2 Buah Terompet
  • 2 Buah Sak Alto / Saxopone Alto
  • 1 Buah F Larinet / Clarinet
  • 1 Buah Tenor Sak / Saxopone Tenor
  • 1 Buah Bariton / Bariton Horn
  • 1 Buah Tenor / Tenor Horn
  • 3 Buah Alt Horn / Alto Horn
  • 1 Buah Bass /Shau Shophon
  • 1 Buah Tambur / Snare Dram
  • 1 Buah Jidur / Bass Dram
Tetapi seiring perkembangan waktu personil yang memainkan jidur ini juga berkurang tidak sampai lagi 14 orang, tetapi walau tidak komplet musik yang di hasilkan tidak jauh berbeda. 

 4. Sejarah Kesenian dan Budaya Palembang 

Sejarah tua Palembang serta masuknya para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai kota multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, kemudian Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti "lawang (pintu)", "gedang (pisang)", adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa. 
Kota Palembang juga selalu mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain "Festival Sriwijaya" setiap bulan Juni dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan, serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan dan Tahun Baru Masehi. 
Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
  • Festival perahu hias dan lomba bidar di Sungai Musi
  • Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang)
  • Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan.
  • Syarofal Anam adalah kesenian Islami yang dibawa oleh para saudagar Arab dulu, dan menjadi terkenal di Palembang oleh KH. M Akib, Ki Kemas H. Umar dan S. Abdullah bin Alwi Jamalullail.
  • Lagu Daerah seperti Melati Karangan, Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut dan Ribang Kemambang.
  • Letak geografis dari Palembang dibelah oleh sungai Musi dan dikelilingi ratusan anak sungai, rawa-rawa di sebagian besar wilayah daratannya. Pada tepian sungai banyak terdapat Rumah Limas yang pintunya menghadab ke sungai, dan alat transportasi air seperti perahu, kapal dan getek menjadi alat transportasi utama yang banyak digunakan mayarakat di tepian sungai.
Sebutan untuk Sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Musi adalah Batanghari Sembilan terdiri dari Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Enim, Sungai Hitam, Sungai Rambang dan Sungai Lubay. Seiring perkembangan zaman, dan perubahan pola hidup masyarakat Palembang, lingkungan perairan sungai dan rawa justru semakin menyempit. Rumah- rumah limas yang tadinya berdiri bebas di tengah rawa atau di atas sungai akhirnya dikepung perkampungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar